Kamis, 23 April 2009

 

Zakat Masuk 2006

Daftar Muzakki dan Penerimaan Zakat
Badan Amil Zakat Nagari Andaleh
Tahun 2006


Sumber : Arsip BAZNA

Label:


Selasa, 21 April 2009

 

Hukum Jual Beli


HUKUM JUAL BELI
YANG BOLEH DAN YANG TERLARANG


Al-Bay’[u] (jual) secara bahasa berarti pertukaran (mubâdalah); lawan katanya adalah asy-syarâ’ (beli). Al-Bay’[u] adalah kata jadian (mashdar) dari kata kerja bâ’a, yaitu menukar barang dengan barang (mubâdalah mâl bi mâl). Dengan ungkapan lain, dalam sebagian literatur, ia berarti mempertemukan atau menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain (muqâbalah syay’[in] bi syay[in]) atau memberi ganti dan mengambil barang yang telah diberi ganti (daf’u iwadh wa akhdu ma ‘uwwidha ‘anhu).
Salah satu dari kata ini dapat digunakan untuk menyebut lainnya. Akan tetapi, jika disebut al-bay’[u ] maka segera terlintas dalam benak menurut kebiasaan (‘urf) bahwa yang dimaksud adalah menawarkan barang dagangan (bâdzil as-sil’ah).*

Hukum Jual-Beli
Adapun secara terminologi (istilah), jual-beli (al-bay’[u ]) berarti menukar barang dengan barang lain untuk saling memiliki dengan adanya kerelaan.* Status hukum jual-beli adalah mubah menurut al-Qur’an Al-Baqarah [2]: 275;
”Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” Qs. an-Nisâ’ [4]: 29)

dan sabda Rasul Saw berikut yang di riwayatkan dari Ibnu Umar ra, ”Dua orang yang berjual-beli boleh memilih (untuk meneruskan jual-beli atau tidak) selama mereka belum berpisah. [HR. al-Bukhari dan Muslim].*

Rukun Jual-Beli
Para fuqaha berbeda pendapat tentang batasan rukun dan hal lain pada akad; apakah ia terbatas pada sighat (kalimat transaksi, ijab dan qabul) atau kumpulan dari sighat dan ‘âqidayn (pembeli dan penjual) serta ma’qûd alayh atau mahal al-‘aqd (barang yang dijual dan harganya).
Para ulama (yakni para ulama Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah) sepakat bahwa ini semua adalah rukun dari jual-beli*. Walhasil, rukun jual-beli yang disepakati oleh para ulama ada 5 perkara, yaitu:
1. Penjual. Hendaknya ia pemilik sah dari barang yang dijualnya atau orang yang mendapat izin menjual dan berakal sehat, bukan orang yang terkena larangan mengelola harta.

2. Pembeli. Hendaknya ia termasuk orang yang diperbolehkan menggunakan hartanya, bukan orang boros, dan bukan pula anak kecil yang tidak mendapat izin mengelola harta. An-Nisâ’ [4]: 5)


”Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”

3. Barang yang dijual dan harganya. Hendaknya barang yang dijualbelikan termasuk barang yang diperbolehkan, suci, dapat diserahterimakan kepada pembelinya dan kondisinya diberitahukan kepada pembelinya, meski hanya gambarannya saja. Sebagian ulama menambahkan, barang yang dijual harus ada ketika terjadi transaksi (akad).*

4. Kalimat yang menunjukkan transaksi jual-beli, yakni kalimat ijab dan qabul. Contoh: pembeli berkata, “Juallah barang itu kepadaku”. Penjualnya berkata, “Aku menjual barang ini kepadamu”.* Bisa juga dengan sikap mengisyaratkan kalimat transaksi. Misalnya, pembeli berkata, “Juallah pakaian ini kepadaku”. Kemudian penjual memberikan pakaian tersebut kepadanya. Termasuk dalam bentuk ungkapan ijab/qabul adalah dengan menggunakan tulisan. Adapun jual-beli dengan tindakan tanpa ada ungkapan-seperti seseorang membeli barang kemudian menyerahkan harganya; seperti jual-beli roti, koran, perangko, dan sebagainya-maka faktanya ada dua: (a) Jika harga barang tersebut di pasaran telah diketahui tidak ada tawar-menawar maka tindakan tersebut menunjukkan ijab-qabul dan masuk dalam kategori jual-beli yang oleh fuqaha dinamakan bay’ al- mu’âthah;* (b) Jika harga barang tersebut memerlukan tawar-menawar kedua belah pihak maka bentuk jual-beli di atas tidak sah. Dengan demikian, setiap ijab-qabul adalah setiap ungkapan, isyarat, ataupun tindakan yang menunjukkan secara qath’i (tegas) adanya ijab-qabul tanpa mengandung unsur perselisihan.*

5. Ada keridhaan di antara kedua belah pihak. Ini berdasarkan sabda Rasul Saw:
Jual-beli itu dianggap sah karena adanya keridhaan. [HR. Ibn Hibban dan Ibn Majah].

Persyaratan Jual-Beli
a. Persyaratan jual-beli yang dianggap sah.
Jika persyaratan yang ditentukan dalam rukun jual-beli telah terpenuhi maka jual beli tersebut dianggap sah. Sah pula hukumnya mensyaratkan adanya manfaat tertentu dalam jual-beli. Contoh: penjual binatang ternak disyaratkan untuk mengantarkan binatang ternaknya ke tempat tertentu, atau tinggal di rumah yang dibeli selama beberapa waktu; pembeli mensyaratkan bahwa kain yang akan dibelinya telah dijahit; atau pembeli kayu bakar menyaratkan bahwa kayu yang dia beli sudah dibelah.* Sebab, terdapat riwayat bahwa Jabir ra. pernah menjual seekor unta kepada Rasul Saw, lalu ia mensyaratkan agar ia boleh menaiki unta yang telah dijualnya tersebut hingga di tempat tujuan.*

b. Persyaratan jual-beli yang dianggap tidak sah.
1. Mengumpulkan 2 akad dalam satu transaksi jual-beli. Contoh: pembeli mengatakan, “Saya jual budak ini kepada Anda seharga 1000 dinar, dengan syarat, Anda harus menjual rumah Anda kepada saya seharga sekian.” Artinya, “Jika Anda menetapkan milik Anda menjadi milik saya, saya pun akan menetapkan milik saya menjadi milik Anda.”* Ini berdasarkan riwayat Ibn Abbas ra. yang menyatakan:
Nabi saw. telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian. [HR. Ibn Hibban, at-Tirmidzi, al-Baihaqi, dan Malik].
Dalam riwayat lain Ibn Mas’ud ra. menuturkan:
Rasul Saw telah melarang dua akad dalam satu akad. [HR. ath- Thabrani].*

2. Mensyaratkan sesuatu yang merusak asal hukum jual-beli. Contoh: seorang penjual binatang ternak mensyaratkan kepada pembelinya untuk tidak menjual kembali ternaknya atau tidak menjualnya kepada si fulan A, atau tidak menghadiahkan kepada si fulan B; atau penjualnya mensyaratkan kepada pembeli supaya dipinjami atau dijual kepadanya suatu barang. Ini berdasarkan sabda Nabi Saw:
Tidak halal menyatukan pinjaman dengan penjualan, menyatukan dua syarat dalam satu akad jual-beli, dan menjual barang yang bukan milikmu. [HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, ad-Daruqutni, dan al-Hakim].

3. Persyaratan batil yang akadnya dianggap sah, namun syarat tersebut dianggap batal. Contoh: penjual mensyaratkan agar tidak dirugikan saat menjual kepada pembeli atau penjual mensyaratkan kepemilikan budak yang dijualnya kepadanya. Persyaratan dalam kedua contoh di atas dikategorikan batal, sedangkan jual-belinya dianggap sah. Ini berdasarkan sabda Rasul Saw:

Siapa saja yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah (al-Qur’an) maka persyaratannya batil, meskipun seratus syarat. [HR. al-Bukhari, Ibn Hibban, Ibn Majah, ad-Daruqutni, dan an-Nasa’i].*

Jual-Beli yang Dilarang
Rasul Saw telah melarang beberapa macam jual-beli, yakni yang di dalamnya terdapat unsur penipuan, yang menjadikan pelakunya memakan harta orang lain dengan cara yang batil; juga yang melahirkan kedengkian, perselisihan, dan permusuhan di antara umat Islam secara khusus dan umat manusia secara umum. Di antaranya adalah:

1. Jual-beli barang yang belum diterima. Tidak boleh seorang Muslim membeli barang, kemudian menjualnya, sebelum ia menerimanya dari penjual.* Ini berdasarkan Hadis Rasul Saw:
Jika kamu membeli sesuatu, janganlah kamu menjualnya sebelum kamu menerimanya terlebih dulu. [HR. Ibn Hibban].

2. Jual-beli barang yang sudah dibeli oleh seorang Muslim. Tidak boleh seorang Muslim membeli suatu barang yang telah dibeli oleh saudaranya sesama Muslim. Contoh: seseorang membeli suatu barang dengan harga 5 ribu rupiah, lalu seorang Muslim berkata kepada penjualnya, “Kembalikan uang itu kepada pemiliknya, pasti akan saya beli barang itu dari Anda seharga 6 ribu rupiah.” Ini berdasarkan Hadis Rasul Saw:
Janganlah sebagian di antara kalian membeli barang yang telah dibeli oleh sebagian orang Islam lainnya. [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Hadis ini berisi larangan yang tegas bahwa seseorang tidak boleh membeli barang yang sudah dibeli saudaranya.*

3. Jual beli dengan sistem najasy.* Tidak boleh seorang Muslim menawar suatu barang tanpa bermaksud untuk membelinya, tetapi dimaksudkan supaya para pembeli tertarik untuk ikut membeli dan menawar dengan harga yang lebih tinggi; baik itu merupakan hasil persengkongkolan dengan sahabatnya atau tidak. Ini berdasarkan riwayat dari Ibn Umar ra:
Rasul Saw telah melarang jual-beli dengan sistem najasy. [HR. al-Bukhari].

4. Jual-beli barang haram dan barang najis. Tidak boleh seorang Muslim menjual barang haram dan barang najis serta barang yang membawa pada sesuatu yang diharamkan. Contoh: tidak boleh memperjualbelikan minuman keras, daging babi, bangkai, narkoba, atau anggur kepada seseorang untuk dijadikan minuman keras; atau memperjualbelikan patung dan barang yang haram dibuat. Ini berdasarkan Hadis Rasul Saw:
Sesungguhnya Allah Swt. dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual minuman keras, bangkai, daging babi, dan patung berhala. [HR. al-Bukhari dan Muslim].

5. Jual-beli yang di dalamnya terdapat unsur penipuan. Contoh: menjual ikan yang masih berada di kolam, bulu domba yang masih melekat di punggung domba, menjual janin binatang yang masih ada dalam perut induknya, menjual air susu yang masih berada dalam ambingnya; menjual buah-buahan yang belum matang; menjual barang yang tidak boleh dilihat atau diperiksa; menjual barang tanpa menjelaskan sifat, jenis, dan beratnya jika barangnya tidak ada pada si penjual.* Ini berdasarkan sabda Rasul Saw:
Janganlah kalian membeli ikan yang masih ada dalam air karena hal itu mengandung unsur penipuan. [HR. Ahmad dan ath-Thabrani].
Dalam riwayat lain Ibn Umar ra. menuturkan:
Rasul Saw telah melarang untuk menjual kurma kecuali ia dapat dimakan, atau bulu domba yang masih melekat di punggung domba, atau air susu yang masih berada dalam ambingnya, atau samin (mentega) yang masih berupa air susu. [HR. al-Baihaqi dan ad-Daruqutni].

Dalam riwayat yang lain lagi juga disebutkan:
Rasul saw. telah melarang menjual buah-buahan sehingga matang. [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Para ulama sepakat untuk melarang jual-beli barang yang tidak ada. Ini adalah syarat in’iqâd menurut para ulama Hanafiyah. Termasuk jual-beli barang yang tidak ada adalah menjual buah yang belum matang seperti di singgung dalam hadis di atas.*


6. Jual-beli dua barang dalam satu transaksi. Tidak boleh seorang Muslim melakukan jual-beli dua barang dalam satu transaksi. Sebab, di dalamnya mengandung unsur kesamaran yang dapat menyakiti atau merugikan orang lain dan memakan hartanya dengan cara yang tidak benar. Contoh: seseorang berkata, “Aku menjual rumah ini kepada Anda dengan harga sekian, dengan syarat, Anda harus menjualnya kembali kepada saya dengan harga sekian.” Ini berdasarkan riwayat bahwa:
Rasul saw. telah melarang menjual dua barang dalam satu akad. [HR. Ahmad dan at-Tirmidzi].7. Jual-beli barang yang tidak dimiliki atau belum sempurna kepemilikannya; termasuk dalam hal ini adalah barang yang tidak bisa diserahkan. Adapun barang yang tidak disyaratkan sempurna kepemilikannya adalah barang yang tidak ditimbang, ditakar, dan dihitung seperti rumah, dan lain-lain. Contoh: seorang pedagang kecil menawarkan barang yang tidak dia miliki kepada pembeli. Ketika pembeli tersebut menyepakati harganya, lalu penjual tersebut pergi ke pembeli lain untuk membeli barang yang dibeli tersebut, maka hukumnya haram; demikian pula orang yang mengimpor barang dari negara lain dan melakukan penjualan barang tersebut sebelum tiba di negerinya.* Walhasil, tidak boleh seorang Muslim menjual barang yang tidak ada padanya atau yang belum dimilikinya,* karena hal itu dapat menyakitkan pembeli ketika barang yang dibelinya ternyata tidak ada. Ini berdasarkan riwayat dari Rasul Saw:
Janganlah kamu menjual suatu barang yang tidak ada padamu. [HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibn Majah, dan at-Tirmidzi].
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa:
Rasul Saw telah melarang menjual suatu barang sebelum ia menerimanya. [HR. al-Bukhari].8. Jual-beli dengan sistem ‘Aynah. Tidak boleh seorang Muslim menjual suatu barang hingga batas waktu tertentu, kemudian ia membeli lagi barang tersebut dari sang pembeli dengan harga yang lebih murah ketika dibeli secara kredit.*

HUKUM JUAL-BELI KREDIT
Jual beli dengan sistem kredit (cicilan), yang ada di masyarakat digolongkan menjadi dua jenis: Jenis pertama, kredit dengan bunga. Ini hukumnya haram dan tidak ada keraguan dalam hal keharamannya, karena jelas-jelas mengandung riba. Jenis kedua, kredit tanpa bunga. Para fuqaha mengistilahkan kredit jenis ini dengan Bai’ At Taqsiith. Sistem jual beli dengan Bai’ At Taqsiith ini telah dikaji sejumlah ulama, di antaranya :

SYAIKH AN-NABHANI*
Menyatakan bahwa pemilik barang berhak menjual barang yang dimilikinya sesuai dengan harga yang diinginkannya atau tidak menjual barangnya pada harga yang tidak ia inginkan. Oleh karena itu, ia berhak menjual barangnya dengan dua harga : apakah dengan harga tunai atau dengan harga kredit yang dibayar sekaligus pada waktu yang disepakati ataupun dengan cara diangsur. Demikian pula pembeli, ia berhak menawar harga di antara kedua bentuk tersebut, apakah secara tunai atau secara kredit. Pendapat ini didasarkan pada hadis Rasulullah Saw:
Sesungguhnya jual beli itu berdasarkan kerelaan. [HR. Ahmad dan Ibnu Majah].
Namun, setelah salah satu harga disepakati, maka harga yang berlaku hanya satu. Sebagai contoh, jika seorang pembeli mengatakan, “Saya menjual barang ini dengan harga Rp 50.000 secara tunai dan Rp. 60.000 secara kredit.” Lalu pembeli mengatakan, “Saya memilih harga tunai”, atau, “Saya menerima harga kredit.” Jual-beli semacam ini sah.
Menurut Syaikh an-Nabhani, tidak ada larangan menjual dengan dua harga terhadap satu barang. Sebab, kebolehan jual-beli sebagaimana yang ditunjukkan al-Qur’an (Qs. al-Baqarah [2]: 257) datang dalam bentuk yang umum. Artinya, seluruh bentuk jual-beli halal kecuali jika terdapat pengecualian, seperti larangan jual-beli gharar (penipuan). Beliau juga mengutip perkataan sejumlah fuqaha seperti Thawus, al-Hakam, dan Hammad yang berkata, “Tidak mengapa seseorang berkata, ‘Saya menjual kepadamu dengan tunai sekian dan dengan kredit (nasi’ah) sekian’.”*

Menurutnya (Syeikh An Nabhani) jual-beli seperti ini tidak termasuk ke dalam larangan jual-beli dua akad dalam satu akad. Sebab, akadnya tetap satu, hanya penawaran harganya yang berbeda, antara tunai dan kredit, dan pembeli juga hanya diberikan pilihan satu, apakah membayar secara tunai atau secara kredit.
Yang terlarang dalam jual-beli kredit adalah ketika pembeli diharuskan menambah harga pada saat ada keterlambatan pembayaran dari waktu yang telah ditentukan (yang dalam masyarakat kita sering disebut dengan 'denda keterlambatan'). Demikian juga jika si pembeli meminta penundaan pembayaran dan penjual merestuinya, dengan catatan, ia harus menambah harganya. Bentuk inilah yang dilarang dalam Islam karena dapat terkategori ke dalam riba nâsi’ah yang secara tegas telah diharamkan dalam Islam.
Hakikat riba nâsi’ah adalah ketika seseorang memiliki utang kepada orang lain hingga batas waktu tertentu lalu ketika jatuh tempo, orang itu berkata, “Apakah kamu akan membayarnya atau akan menambahi utangmu.” Jika ia tidak mampu membayarnya, niscaya utangnya akan ditambah dan ditangguhkan hingga batas waktu yang telah ditentukan. Dengan begitu, jumlah utangnya akan terus bertambah seiring dengan penambahan batas waktu pembayarannya. Jika hal ini terjadi maka harga yang berlaku adalah harga yang pertama karena selebihnya adalah riba.*

AS-SYAIKH NASHIRUDIN AL ALBANI
Dalam kitab As-Shahihah jilid 5, terbitan Maktabah Al Ma’arif Riyadh, hadits no. 2326 tentang “Jual Beli dengan Kredit”, beliau menyebutkan adanya tiga pendapat di kalangan para ulama. Yang rajih (kuat) adalah pendapat yang tidak memperbolehkan menjual dengan kredit apabila harganya berbeda dengan harga kontan (yaitu lebih mahal, red). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At Tirmidzi, bahwa Rasulullah melarang transaksi jual beli (2 harga) dalam satu transaksi jual beli.
As Syaikh Al Albani menjelaskan, maksud larangan dalam hadits tersebut adalah larangan adanya dua harga dalam satu transaksi jual beli, seperti perkataan seorang penjual kepada pembeli: Jika kamu membeli dengan kontan maka harganya sekian, dan apabila kredit maka harganya sekian (yakni lebih tinggi).
Hal ini sebagaimana ditafsirkan oleh Simaak bin Harb dalam As Sunnah (karya Muhammad bin Nashr Al Marwazi), Ibnu Sirin dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 hal. 137 no. 14630, Thoowush dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14631, Ats Tsauri dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14632, Al Auza’i sebagaimana disebutkan oleh Al Khaththaabi dalam Ma’alim As Sunan jilid 5 hal. 99, An Nasa’i, Ibnu Hibban dalam Shahih Ibni Hibban jilid 7 hal. 225, dan Ibnul Atsir dalam Ghariibul Hadits.
Demikian pula dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.”
Misalnya seseorang menjual dengan harga kontan Rp 100.000,00, dan kredit dengan harga Rp 120.000,00. Maka ia harus menjual dengan harga Rp 100.000,00. Jika tidak, maka ia telah melakukan riba. Atas dasar inilah, jual beli dengan sistem kredit (yakni ada perbedaan harga kontan dengan cicilan) dilarang, dikarenakan jenis ini adalah jenis jual beli dengan riba.

AS-SYAIKH MUQBIL BIN HADI AL WAADI’I
Dalam kitabnya Ijaabatus Saailin hal. 632 pertanyaan no. 376, beliau menjelaskan bahwa hukum jual beli seperti tersebut di atas adalah dilarang, karena mengandung unsur riba. Dan beliau menasehatkan kepada setiap muslim untuk menghindari cara jual beli seperti ini.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At Tirmidzi, bahwa Rasulullah melarang transaksi jual beli (2 harga) dalam satu transaksi jual beli.
Namun beliau menganggap lemahnya hadits Abu Hurairah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.”
Hal ini sebagaimana disebutkan beliau dalam kitabnya Ahaadiitsu Mu’allah Dzoohiruha As Shahihah, hadits no.369.
Dalam perkara jual beli kredit ini, kami nukilkan nasehat As-Syaikh Al Albani: “Ketahuilah wahai saudaraku muslimin, bahwa cara jual beli yang seperti ini yang telah banyak tersebar di kalangan pedagang di masa kita ini, yaitu jual beli At Taqsiith (kredit), dengan mengambil tambahan harga dibandingkan dengan harga kontan, adalah cara jual beli yang tidak disyari’atkan. Di samping mengandung unsur riba, cara seperti ini juga bertentangan dengan ruh Islam, di mana Islam didirikan atas pemberian kemudahan atas umat manusia, dan kasih sayang terhadap mereka serta meringankan beban mereka, sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan Al Imam Al Bukhari : “Allah merahmati seorang hamba yang suka memberi kemudahan ketika menjual dan ketika membeli…”
Dan kalau seandainya salah satu dari mereka mau bertakwa kepada Allah, menjual dengan cara kredit dengan harga yang sama sebagaimana harga kontan, maka hal itu lebih menguntungkan baginya, juga dari sisi keuntungan materi. Karena dengan itu menyebabkan sukanya orang membeli darinya, dan diberkahinya oleh Allah pada rejekinya, sebagaimana firman Allah:

… Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki-Nya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Ath Thalaq: 2-3)
Demikian nasehat dari As-Syaikh Al Albani. Sebagai kesimpulan, kami dari Majelis Ulama Nagari Andaleh menyatakan dan menasehatkan kepada seluruh kaum Muslimin, agar :

1. Jika saudara adalah seorang pedagang, maka hindarilah cara menjual dengan sistim kredit yang memakai dua harga dan harga kredit lebih mahal dibanding harga kontan

2. Jika saudara adalah seorang konsumen, membutuhkan sesuatu barang, dan menemukan penjual yang mematok dua harga untuk barangnya (harga tunai lebih murah dibanding harga kredit) maka hindarilah untuk membelinya dengan sistim kredit
Akhirul kalam, wallahu a`lam.

Catatan :
Untuk pengayaan materi dalam makalah ini, Majelis Ulama Nagari Andaleh disamping melakukan kajian secara bersama, juga mengambil literatur dari
Makalah Muhammad Lazuardi al-Jawi tentang Jual Beli Dalam Islam,
Makalah Ustaz Ahmad Sarwat, Lc. tentang Jual Beli Dua Harga Haram, Bagaimana dengan Kredit?,
Muhammad Ishaq, Makalah “Hukum Jual-Beli Secara Kredit Menurut Islam”.

Para pemakalah tersebut dalam makalahnya antara lain mengutip dari :
1. Lihat; Mawsû’ah al-Fiqhiyah, disusun oleh Ulama Kuwait, Bab, “Ta’rîf al-Bay”
2. Ibn Qudamah, Al-Mughni, IV/3. Beirut: Darul Fikr, 1405 H. Cetakan ke-1.
3. Taqqiyudin an-Nabhani, Asy-Syakhisyah al-Islâmiyyah, II/295-298. Penerbit Darul Ummah.
4. Mawsû’ah al-Fiqhiyah, Bab ‘Arkân al-Bay’ wa Syurûtuh”.
5. Mawsû’ah al-Fiqhiyah, Bab, “Syurûth al-Bay’”.
6. Ibn Dhawiyan, Manâr as-Sabîl, I/287. Riyadh: al-Maarif, 1405 H. Cetakan ke-2.
7. Ibnu Qudamah IV/5. Darul Ihya at-Turats al-‘Arabi.
8. Ibn Yusuf al-Hanbali, Dalîl ath-Thâlib, 1/108. Beirut: Maktab al-Islami, 1389 H. Cetakan ke-2.
9. Asy-Syaukani, Nayl al-Awthâr, IV/249.
10. HR ath-Thabrani, IV/84, dalam Majma’ az-Zawâ’id wa Manba’ al-Fawâ’id. Beirut:Dar al-Kitab al-‘Arabi,1407 H.
11. Ibn Abdil Bar, Tamhîd, XIII/332. Maroko: Wazarah al-Awqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyah, 1387 H.
12. Syarh az-Zarqani, III/426. Beirut: Darul Kutub al-'Ilmiyah, 1411 H. Cetakan ke-1.
13. Ibn Abdil Bar, Al-Kafî, 1/325. Beirut: Darul Kutub al-‘llmiyah, 1407 H. Cetakan ke-1; Al-Kasani, Badai’ ash-Shana’i, V/147. Beirut: Darul Kutub al-‘Arabi, 1982. Cetakan ke-2.
14. Ibn Qudamah, Al-Kafî fî Fiqh Ibn Hanbal, II/25. Beirut: Maktab al-Islami, 1408 H/1988 M. Cetakan ke-5.

Sumber : Arsip MUNA

Label:


 

Daftar Lembaga Nagari

NAMA - NAMA LEMBAGA TINGKAT NAGARI

  1. Pemerintah Nagari
  2. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM)
  3. Badan Musyawarah Nagari (BAMUS)
  4. Lembaga Adat Nagari (LAN)
  5. Majelis Ulama Nagari Andaleh (MUNA)
  6. TP PKK Nagari
  7. Bundo Kanduang
  8. Organisasi Pemuda (Karang Taruna)

Sumber : Arsip Nagari Andaleh

Label:


 

Struktur BAZNA

Struktur Kepengurusan
Badan Amil Zakat Nagari Andaleh
(BAZNA)

Ketua : Hardinata Syam
Wakil Ketua : Is Dt Tunaro Nan Gamuak
Sekretaris : Zulhatril, S.Pd.I
Wakil Sekretaris : Harmen Satera
Bendahara : Yulia Hesti
Anggota :
  1. Joni Firdaus
  2. Armen
  3. Syafnil
  4. Saherman Bena
  5. Menhaldi
  6. Hendra Iswara
  7. Effendi
  8. Dedi Iswan

Sumber : Arsip Wali Nagari

Label:


 

Struktur Pemerintah

Struktur Pemerintahan Nagari Andaleh
Sumber : Arsip Nagari

Label:


 

Keanggotaan BAMUS

STRUKTUR BADAN MUSYAWARAH NAGARI ANDALEH
Periode 2008 - 2013

Ketua : Zulhidayah
Wakil Ketua : Masdelfi, S.Sos
Anggota :
  1. Efni, S.Pd
  2. Harmen Sastera
  3. Zulhatril, S.Pd.I
  4. Yodi Oktavera, S.Sos
  5. Montriadi Dt Paduko Marajo
  6. Jekri
  7. Usdawarta, SH

Sumber : Kantor Wali Nagari Andaleh

Label:


 

Batasan Umur Yatim

MAJELIS ULAMA NAGARI ANDALEH

Sekretariat : Jorong Kampung Tangah – Andaleh – Kec. Luak – Limapuluh Kota – Sumatera Barat 26262

KEPUTUSAN
Nomor : 01/MUNA.II-2008


Dengan mengucapkan Bismillaahirrahmaanirrahiem Majelis Ulama Nagari Andaleh, menyatakan :
Setelah :
Mengingat : Program Kerja Majelis Ulama Nagari Andaleh periode 2007 – 2010
Memperhatikan :


  1. Ayat-ayat Alqur`an serta hadist-hadist nabi Muhammad SAW mengenai kewajiban untuk memelihara, menyantuni, menganjurkan untuk berlaku baik terhadap anak yatim.

  2. Makalah dari Buya Zulhatril, S.PdI dan Buya Abrar Dt Sembai Nan Putieh, S.Ag

  3. Kesepakatan/kesesuaian anggota Majelis Ulama Nagari Andaleh yang hadir pada forum-forum kajian yang diadakan sekali sepekan selama beberapa pekan yang berlangsung semenjak hari Kamis tanggal 17 Januari 2008 yang membahas perihal seputar masalah zakat.

Memutuskan :
MENETAPKAN


Pertama : Menyampaikan secara berkala kepada seluruh anak nagari tentang apa-apa yang sudah disepakati dalam forum kajian bersama anggota Majelis Ulama Nagari Andaleh mengenai anak yatim dan melanjutkan kajian untuk hal-hal yang belum dibicarakan.

Kedua : Segala lampiran yang terdapat pada pernyataan/keputusan ini merupakan bagian tak terpisahkan dari surat keputusan ini, termasuk yang sedang dan akan dibicarakan untuk dicarikan keputusannya mengenai hal-hal seputar masalah anak yatim ini.

Ketiga : Bahwa apa-apa yang menjadi keputusan ini, semata-mata didasarkan pada dalil-dalil/nash-nash yang qath`i sesuai batas pengetahuan masing-masing anggota Majelis Ulama Nagari Andaleh yang hadir pada forum kajian dimaksud dengan niat semata untuk beribadah kepada Allah SwT dan berharap kepada Allah SWT, semoga apa-apa yang diputuskan ini terhindar dari segala hal yang tidak benar.

28 Februari 2008

Majelis Syuro
Ketua Sekretaris




H. ABDUL MALIK ISMAIL SAHARNI, BA

MAJELIS ULAMA NAGARI ANDALEH
Ketua




D E S E M B R I


Tembusan disampaikan kepada Yth :
Bapak Wali Nagari Andaleh di Kampung Tangah
Pertinggal--------------------------------------------------


KEPUTUSAN MAJELIS ULAMA NAGARI ANDALEH


Tentang Kewajiban untuk Memelihara, Menyantuni Anak Yatim dan


Had/Batas Umur Anak Yatim



  1. PENDAHULUAN
    Pendekatan Definitif
    Ada beragam versi yang muncul dalam memahami dan mendefinisikan kata yatîm. Ada yang menyatakan bahwa yatim bukan hanya anak yang ayahnya sudah meninggal dunia, akan tetapi lebih dari itu, ia adalah anak yang tidak bisa mendapatkan kesejahteraan hidup dan pendidikan yang layak, kendati orang tuanya masih hidup.
    Sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa yatim memiliki pengertian yang luas dan amat beragam: ada yatim al-mâl (anak yang hidup dalam keluarga pra sejahtera), yatim al-‘aqîdah, (mereka yang pemahaman akidahnya masih lemah dan dangkal) bahkan yatim al-‘ilm (yatim dalam bidang ilmu pengetahuan), dst. Asumsi terakhir ini mengacu pada sebuah maqâlah arab sebagai berikut;
    لَيْسَ اليَتِيْمُ مَنْ فَقَدَ وَالِدَهُ وَلَكِنَّ الْيَتِيْمَ يَتِيْمُ الْعِلْمِ وَالْأَدَبِ
    "Yang dikatakan yatim bukanlah anak yang ayahnya telah tiada, akan tetapi yatim adalah orang yang tidak memiliki ilmu dan budi pekerti yang baik".

    Bahkan, sementara kalangan ada yang beranggapan jika status yatim tidak dibatasi dengan masa dan usia. Selama si yatim tidak bisa mandiri dan dapat mengelola hartanya sendiri dengan baik, meski ia sudah bâligh, tetap dianggap sebagai yatim. Pendapat ini berpedoman pada ayat al-Qur’ân yang berbunyi:

    وَابْتَلُوْا اليَتَامَى حَتَّى اِذَاْ بَلَغُوْا النِّكَاحْ (النساء: 6)

    "Dan ujilah anak yatim itu sampai ia cukup umur menikah (bâligh)" (QS: al-Nisâ’, 6)
    Dalam hal ini, mereka mengartikan kata "al-nikâĥ" dalam ayat tersebut dengan "usia yang pantas untuk menikah", yakni "si yatim" sudah bisa hidup mandiri dengan mencari nafkah dan mengelola harta kekayaannya sendiri dengan baik. Tentu saja, masih menurut pendapat ini, bakat tersebut tidak bisa dimiliki oleh anak yang baru bâligh.
    Pada sisi lain, ada yang berpendapat bahwa definisi yatim yang berlaku dan dianggap saĥîĥ (mu‘tabar) sehingga berlaku hukum-hukum fikih kepadanya, dengan berlandaskan pada al-Qur’ân dan ĥadîts Nabi adalah: “anak yang ayahnya telah tiada sebelum ia mencapai usia bâligh”. Definisi ini berlandasan pada ĥadîts nabi SAW. yang artinya, "tidak ada yatim setelah masa bâligh (dewasa)" (Lihat, Tafsîr Ibnu Katsîr, I/491-492; Ensiklopedi Hukum Islam, VI/1962 entri Yatim; Qâmûs al-Fiqhy, 392).
    Definisi terakhir inilah yang lebih representatif dan abasah untuk dijadikan landasan, karena memang berangkat dari pemahaman terhadap sumber utama hukum Islam (al-Qur’ân dan al-Ĥadîts). Sementara definisi yang lain kebanyakan hanya merujuk pada realita sosial yang berlaku dan menjadi asumsi masyarakat kebanyakan, serta terkesan mengesampingkan ketentuan-ketentuan fikih Islam.
    Adapun maqâlah arab yang mempresentasikan definisi yatim sebagai "orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan dan budi pekerti yang baik", sebetulnya merupakan ungkapan metafora (majâz) yang diarahkan pada bidang ilmu pengetahuan dan akhlak, bukan untuk mendefinisikan yatim yang sesungguhnya.
    Sedangkan yang dikehendaki dengan kata 'al-nikâĥ' dalam surat al-Nisâ’ ayat 6 di atas adalah “usia bâligh”. Demikian dengan merujuk pada ayat al-Qur’ân yang lain dengan redaksi:

    وَاِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الحُلُمَ (النور: 59)

    "Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur bâligh" (QS: al-Nûr, 59).

    dan pada ĥadist nabi SAW. yang berbunyi:

    لَا يُتْمَ بَعْدَ بُلُوْغٍ –وفي رواية- لَاْيُتْمَ بَعْدَ احْتِلَامٍ (رواه ابو داود)

    "Tidak dikatakan yatim setelah bâligh" (HR: Abû Dâwud)
    Dalam penggalan ayat al-Qur’ân di atas dijelaskan bahwa usia nikah adalah usia bâligh. Sedangkan ĥadîts tersebut memberikan pengertian bahwa seorang anak yang sudah mencapai usia bâligh, status yatim sudah terlepas dari dirinya, meskipun harta yang menjadi hak miliknya tidak dapat langsung diberikan kepadanya. Masih melihat kondisi apakah dia sudah bâligh-rusyd atau tidak.

    Dalam konteks keindonesiaan, nama yatim diperuntukkan anak yang bapaknya meninggal dunia. Sedangkan bila yang meninggal adalah bapak dan ibunya sekaligus, maka anak tersebut dikatakan yatim-piatu. Dalam tinjauan ushul fiqh, skala prioritas semacam ini bisa saja dimasukkan dalam kategori faĥwa al-khithâb atau mafhûm aulawy (pemahaman secara eksplisit dengan memakai skala prioritas). Artinya, secara filosofis bisa digambarkan, bahwa anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya mesti lebih diprioritaskan daripada anak yang hanya ditinggal mati bapaknya saja. Padahal, sejatinya dalam fikih tidak terdapat skala prioritas seperti yang terjadi dalam konteks Indonesia ini.
    Dalam konteks bahasa arab juga terdapat klasifikasi yang jelas tentang anak yatim ini. Dalam dunia Arab, disamping ada nama yatîm sebagai sebutan bagi anak yang bapaknya meninggal, juga ada nama lathîm bagi anak yang kedua orang tuanya meninggal, serta nama ‘ujmi bagi anak yang ibunya meninggal. Namun, sejauh ini klasifkasi penamaan tersebut tidak memiliki pengaruh apapun terhadap penetapan hukum fikih. (Lihat, Futûhât al-Ilâhiyah, I/352)

  2. Dalil-Dalil untuk Memelihara, Menyantuni Anak Yatim

    “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Ma`uun : 1:3)
    “Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.” (QS. Ad-Dhuha : 9)
    “Tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah menghendaki, niscaya dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS. Al-Baqarah : 220)

    “Aku dan pemelihara anak yatim di surga (dekatnya) seperti dua jari ini (seraya Rasul isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah dengan posisi merenggang)” Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, at-Turmudzi dan Abu Daud

  3. Bahaya Tidak Berbuat Ishlah terhadap Anak Yatim
    Untuk hal ini, QS Al-Baqarah:177 sudah cukup sebagai ancaman bagi aulia`ul yatama (para wali anak yatim) yang tidak mengurus anak yatim dengan baik.
    Syekh Jalaluddin al-Shawi di dalam karyanya, Tafsir al-Shawi mengutip sebuah hadits ketika menafsiri QS al-Dhuha : 06 yang artinya, “rumah terbaik adalah rumah yang ada anak yatim dan diurus dengan baik. Dan paling buruknya rumah adalah rumah yang terdapat anak yatimnya, namun tidak diurus” (Tafsir Shawi, II/11)
    Hadits lain yang lebih mengerikan adalah “barang siapa yang memakan harta anak yatim (dengan cara dzalim) kelak di hari Kiamat akan bangkit sedangkan kuburan, mulut, hidung, kuping dan matanya mengeluarkan asa” (Tafsir Shawi, VI/298).
    Ancaman lain adalah QS al-Fajr:12-20. Menurut Jamal al-`Ujailiy dalam tafsirnya, al-Futuhat al-Ilahiyah mengatakan bahwa ayat 12 ini memiliki dua arah interpretasi. Pertama, tidak berbuat baik terhadap anak yatim dan kedua, tidak memenuhi hak-hak mereka. Pendapat Jamal al-`Ujailiy di back-up oleh Imam Muqatil dengan pendapatnya bahwa hadirnya ayat ke 16 hingga akhir surat dimaksudkan sebagai takhwif (menakut-nakuti) yang datang dari Allah Swt. Merupakan hal yang maklum bahwa takhwif yang datang dari Allah Swt bukanlah “gertakan sambal” belaka.

  4. Batas Seseorang di hukumi sebagai Yatim
    Kata yatim dengan segala variannya, tersebut dalam Alquran sebanyak 23 kali. Sebagian ahli bahasa Arab memberikan definisi anak yatim adalah anak yang bapaknya sudah meninggal dunia. Sebagian ulama menambahkan batasan yakni yang masih belum sampai batas baligh. Batasan ini ditambahkan karena menurut mereka ada hadis yang berbunyi:
    لَا يُتْمَ بَعْدَ بُلُوْغٍ –وفي رواية- لَاْيُتْمَ بَعْدَ احْتِلَامٍ (رواه ابو داود)
    ''...tidak ada anak yatim bagi anak yang telah sampai umur baligh.''
    Sebagian ulama menjelaskan, anak yatim adalah anak kecil yang tidak lagi mempunyai bapak. Yang dimaksud tidak mempunyai bapak adalah tidak mempunyai bapak yang diketahui menurut aturan syara', sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikh Ibrahim Al-Baijuri.

    Soal di usia berapa seorang anak yang ditinggal mati oleh bapaknya tidak lagi menjadi yatim, memang masih kontroversial. Sebagian ulama mengacu pada usia tertentu. Ada yang berpendapat bila sudah berusia 10-12 tahun dan ada juga yang mengatakan bila sudah akil baligh. Namun tidak sedikit ulama yang berpendapat hal itu bisa bersifat relatif, tergantung tingkat kemandirian seorang anak yatim. (Hal ini disebabkan antara lain oleh tidak ditemukannya batasan yang jelas untuk umur seseorang dapat di katakana sudah baligh.)
    Artinya, meski sudah baligh, namun bila belum mampu mandiri, sementara ia tidak memiliki ayah yang dapat dijadikan tempat bersandar, maka ia tetap disebut yatim. Dan, meskipun belum baligh tapi sudah mandiri dan mapan di bidang ekonomi, sudah mumayyiz dan akil, maka ia bukan lagi anak yatim. Intinya, anak-anak yatim adalah anak-anak yang ditinggal mati oleh ayahnya, sehingga karena itu ia mendapatkan perhatian lebih di dalam Islam dan harus lebih dikasihani ketimbang anak-anak yang lain.

  5. Tanda-Tanda Baligh Untuk Laki-Laki Dan Perempuan
    Tanda-Tanda Baligh untuk Laki-Laki
    1. Ihtilam,
    yaitu keluarnya mani baik karena mimpi atau karena lainnya. Dalilnya disebutkan dalam Al-Qur’an, dimana Allah ta’ala berfirman :
    ﻢﻬﻠﺒﻗ ﻦﻣ ﻦﻳﺬﺍ ﻥﺬﺌﺘﺳﺍ ﺎﻤﻛ ﺍﻮﻧﺬﺌﺘﺴﻴﻠﻓ ﻢﻠﺤﻟﺍ ﻢﻜﻨﻣ ﻝﺎﻔﻃﻷﺍ ﻎﻠﺑ ﺍﺫﺇ
    ”Dan bila anak-anakmu telah sampai hulm (ihtilam), maka hendaklah mereka meminta ijin seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta ijin”.
    Dari Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu ia berkata,”Aku hafal (perkataan) dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : Tidak (dinamakan) yatim bila telah ihtilam dan tidak boleh diam seharian hingga malam” (HR. Abu Dawud 2873 dengan sanad hasan; Irwaaul-Ghaliil 1244; Shahiih Al-Jaami’ Ash-Shaghiir 2/7609).
    Dari Ali juga dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
    ﻦﻋﻭ ﻢﻠﺘﺤﻳ ﻰﺘﺣ ﻲﺒﺼﻟﺍ ﻦﻋﻭ ﻆﻘﻴﺘﺴﻳ ﻰﺘﺣ ﻢﺋﺎﻨﻟﺍ ﻦﻋ : ﺔﺛﻼﺛ ﻦﻋ ﻢﻠﻘﻟﺍ ﻊﻓﺭ
    ﻞﻘﻌﻳ ﻰﺘﺣ ﻥﻮﻨﺠﻤﻟﺍ
    ”Diangkat pena (tidak dikenakan kewajiban) pada tiga orang : orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang gila hingga berakal” (HR. Abu Dawud 12/78/4380 dan Tirmidzi 1423 dengan sanad shahih; lihat Shahiih Al-Jaami’ Ash-Shaghiir 1/3513).
    Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda kepada Mu’adz,”Ambillah dari setiap orang yang telah ihtilam satu dinar” (HR. Nasa’I 2450, Baihaqi dalam Al-Kubra 19155, dan Ahmad 21532).
    2. Tumbuhnya Rambut Kemaluan
    Dari ‘Athiyyah ia berkata : “Kami dihadapkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pada hari Quraidhah (peristiwa pengkhianatan Bani Quraidhah), di situ orang yang sudah tumbuh bulu kemaluannya dibunuh, sedang orang yang belum tumbuh dibiarkan. Aku adalah orang yang belum tumbuh maka aku diabiarkan”(HR. Abu Dawud 4404, Tirmidzi 1584, Nasa’I 3429, Ibnu Majah 2541, dan Ahmad 4/310; dishahihkan oleh Tirmidzi).
    Dalam satu lafadh disebutkan,”Maka orang yang telah ihtilam atau telah tumbuh rambut kemaluannya dibunuh, sedangkan yang belum dibiarkan”(HR. Ahmad 3/383, Nasa’I 3430, dan Hakim 4/390).

    Dalam lafadh lain : “Aku adalah seorang pemuda di hari Sa’ad bin Mu’adz menghukum Bani Quraidhah dengan dibunuhnya orang yang ikut berperang dan ditawan keturunannya. Mereka melaporkan aku, tapi mereka tidak mendapati bulu kemaluanku, makanya aku sekarang di tengah-tengah kalian” (Tarbiyatul-Aulad fil-Islaam halaman 270).
    Dari Samurah bin Jundub bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Bunuhlah orang-orang tua dari kalangan kaum musyrikiin dan biarkanlah syarkh”. (HR. Ahmad 20021, Abu dawud 3/54/2670, dan Tirmidzi 4/145/1583 dengan sanad hasan. Syarkh adalah anak-anak yang belum tumbuh bulu kemaluannya).
    Dari Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhuma,”Bila seorang anak terkena hukuman hudud lalu dipermasalahkan apakah ia sudah ihtilam atau belum? Maka lihatlah bulu kemaluannya”.
    Semua ini menunjukkan bahwa tumbuhnya rambut kemaluan adalah tanda balighnya seseorang, sebagai tanda juga bagi anak-anak kaum muslimin dan orang-orang kafir; dan menunjukkan juga bolehnya melihat aurat orang lain bila diperlukan untuk mengetahui baligh dan tidaknya seseorang serta untuk lainnya (Tuhfatul-Maulud bi Ahkaamil-Maulud oleh Ibnul-Qayyim halaman 210).
    3. Ketika Ia Mencapai Usia Lima Belas Tahun
    ”Seorang anak bila telah berusia lima belas tahun maka diperlakukan hudud (hukuman pidana) buatnya” (HR. Baihaqi dalam Khilafiyaat dari Anas dengan sanad dla’if).
    Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata, ”Untuk waktu ihtilaam tidak ada batas umurnya, bahkan anak-anak yang berusia dua belas tahun bisa ihtilaam. Ada juga yang sampai lima belas tahun, enam belas tahun, dan seterusnya namun belum ihtilaam”.
    Para fuqahaa berselisih tentang usia baligh sebagai berikut :
    Al-Auza’I, Ahmad, Syafi’I, Abu Yusuf, dan Muhammad berkata, ”Bilamana ia telah berusia lima belas tahun, maka ia sudah dikatakan baligh”.

    Para shahabat Imam Malik mempunyai 3 (tiga) pendapat :
    1. Tujuh belas tahun
    2. Delapan belas tahun
    3. Lima belas tahun
    Sedangkan Abu Hanifah ada dua riwayat :
    1. Tujuh belas tahun
    2. Delapan belas tahun dan bagi anak perempuan itu tujuh belas tahun.

    Daud dan para shababatnya berpendapat, ”Tidak ada batasan usia. Yang bisa dijadikan batasan adalah ihtilaam, inilah pendapat yang kuat, dan tidak ada pembatasan dari Rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam sedikitpun”. Imam Ahmad mengatakan,”Anak kecil tidak menjadi mahram bagi wanita hingga ia ihtilam”. Beliau mensyaratkan ihtilam.

    4. Memiliki Kesanggupan untuk Berusaha dan Kecerdasan untuk Mengelola Harta
    “ Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim” (QS. Ash-Shafaat : 102)
    “Dan ujilah (269) anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)” (QS. An-Nisa` : 6) [269] Yakni: mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan, usaha-usaha mereka, kelakuan dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercayai.

    Tanda-Tanda Baligh untuk Perempuan
    Balighnya anak perempuan bisa sama seperti laki-laki, namun ditambah dengan keempatnya, yaitu Haidl, berkembangnya alat-alat untuk berketurunan, serta membesarnya buah dada.
    Bila anak sudah hulm/ihtlaam maka ia telah sampai pada usia taklif. Wajib baginya mengerjakan ibadah dan seluruh amalan wajib. Adapun sebelum itu, maka perintah hanyalah sebagai pembiasaan dan menjadikannya suka.
  6. KESIMPULAN
    Menyadari betapa banyaknya pendapat-pendapat para ulama yang bisa dijadikan rujukan untuk menetapkan had/batasan seseorang dihukumi (dikatakan) yatim dan tidak adanya ketegasan dalam hadits tentang batasan umur ini, serta beragamnya indikator seseorang dapat dikatakan baligh, maka setelah mempertimbangkan seluruh point yang dikemukakan di atas, dengan segala kesungguhan hati dan niat untuk beribadah kepada Allah, dengan pengharapan mohon di ampuni oleh Allah SwT jika terdapat kesalahan dalam menetapkan suatu perkara, Majelis Ulama Nagari Andaleh menetapkan hal-hal sebagai berikut :

    1. Berbuat ishlah (kebaikan) terhadap anak yatim adalah kemestian bagi setiap individu ummat Islam, yang antara lain memiliki hikmah :
    a. Sebagai sarana bagi kaum mukminin untuk saling berlomba, tolong-menolong, terutama berlomba menolong anak yatim.
    b. Sebagai sarana bagi kaum mukminin untuk saling memperhatikan dan peduli terhadap nasib sesama, terutama terhadap anak yatim.
    c. Sebagai sarana kaum mukminin untuk menghidupkan sunnah nabi dan menegakkan ajaran Allah subhanahu wata’ala, tentang perhatian terhadap anak yatim.
    d. Sebagai sarana kaum mukminin menuntut dirinya memenuhi janji Rasulullah SAW, yaitu duduk bersanding dengan beliau bagi siapa yang menjamin anak yatim.
    e. Sebagai wahana berkiprah bagi anak yatim itu sendiri di kalangan kaum muslimin yang memperhatikannya, bagai seorang anak kepada bapaknya sendiri.
    f. Sebagai bukti bahwa Allah SwT lah yang Mahakuasa, mengatur, dan yang berhak diibadahi.
    g. Sebagai bukti kebenaran iman seorang mukmin dengan memperhatikan anak yatim.
    h. Sebagai wahana memperhalus dan memperindah akhlaq kaum mukmin dengan cara bergaul dengan mereka/sebagai benteng kaum mukmin dari api neraka.

    2. Menganjurkan kepada setiap ummat Islam khususnya di Andaleh untuk memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam hal berbuat ishlah terhadap anak yatim, dan jika tidak memiliki kesanggupan untuk membantu atau menyantuni secara sendiri-sendiri, dianjurkan untuk membantu secara bersama-sama melalui suatu Lembaga/Yayasan/Badan/Organisasi.
    3. Tidak ada skala prioritas untuk Yatim dan Lathim. Keduanya diperlakukan sama.
    4. `Ujmi (anak yang kematian ibu) tidak dapat dipersamakan dengan Yatim. Jika terdapat seorang `ujmi yang kehidupan ekonomi bertaraf miskin, maka dia berhak atas dana zakat.
    5. Seseorang dikatakan masih yatim pada saat ia masih belum memiliki kesanggupan sendiri untuk berusaha (belum baligh), atau belum cukup cerdas untuk mengelola hartanya (harta peninggalan ayahnya), (belum baligh yang rusyd), atau belum bisa mandiri karena ketergantungan dengan kesanggupan dan kesempatan terhadap sesuatu hal yang tidak menyelisihi sunnah (seperti tidak sanggup dan sempat berusaha karena masih berstatus pelajar), atau setinggi-tingginya berusia 18 tahun, atau setinggi-tingginya sampai duduk di kelas III SMA/SMK/MAN/sederajat.
    6. Jika seorang anak yatim yang masih melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, sementara ia termasuk golongan faqir atau miskin, maka ia berhak atas dana zakat yang tersedia.

    VII. PENUTUP
    Tiada gading yang tak retak, tidaklah manusia jika tidak bersifat khilaf, segala kebenaran yang terdapat dalam keputusan ini sesungguhnya dating dari Allah dan RasulNya, dan segala kekhilafan adalah milik seluruh anggota MUNA yang ikut dalam merumuskan keputusan ini. Akhirul kalam, fa idza `azamta fa tawakkal `ala-Allah.
    28 Februari 2008

Majelis Syuro
Ketua Sekretaris




H. ABDUL MALIK ISMAIL SAHARNI, BA




MAJELIS ULAMA NAGARI ANDALEH
Ketua




D E S E M B R I

Label:


 

Nama & Alamat Sekolah

Jumlah Sarana Pendidikan yang terdapat dalam nagari Andaleh :

1. 2 unit TK PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini)

2. 2 unit Taman Kanak-Kanak

3. 5 unit Sekolah Dasar terdiri dari

4. 1 unit SMP (SMP Muhammadiyah Andaleh)

5. 1 unit SMK (SMK Negeri 1 Kec. Luak)

Label:


Senin, 20 April 2009

 

Nama Masjid dan Mushalla

Nama-Nama Masjid Dan Mushalla
Dalam Nagari Andaleh


Sumber : Arsip Nagari

Label:


 

Program Kerja Majelis Ulama Nagari Andaleh

Program Kerja
Majelis Ulama Nagari Andaleh
Juli 2007 – Juli 2010

PENDAHULUAN
Berdirinya Majelis Ulama Nagari Andaleh pada abad kedua puluh lalu, dipastikan tidak terlepas dari latar belakang tertentu. Latar belakang tersebut, kalau diklasifikasikan dipastikan pula akan terbagi menjadi dua bagian, yaitu latar belakang yang merupakan faktor subyektif dan latar belakang yang merupakan faktor obyektif. Yang terakhir ini masih dapat dibagi lagi menjadi faktor intern (Andaleh) dan faktor ekstern (luar Andaleh)
Yang termasuk faktor subyektif ini adalah faktor pribadi para pendiri Majelis Ulama Nagari Andaleh. Kelahiran Majelis Ulama Nagari Andaleh tidak terlepas dari pribadi pendirinya. Pemahaman beliau-beliau itu terhadap agama Islam yang cukup mendalam dan luas, merupakan pendorong utama pendirian Majelis Ulama Nagari Andaleh ini, apalagi pada kenyataannya, mereka pada waktu itu melihat, bahwa pelaksanaan ajaran Islam di Andaleh masih banyak yang belum sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW.
Kesadaran yang terbentuk sedemikian rupa, telah melahirkan gagasan cemerlang bahwa usaha-usaha untuk membawa ummat Islam agar menjalankan syari`at Islam sesuai dengan tuntunan yang diajarkan nabi Muhammad SAW haruslah dilakukan secara bersama-sama oleh sekelompok orang, sesuai dengan yang dianjurkan Allah dalam surat Ali Imran ayat 104.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”
Faktor Obyektif
Latar belakang ini merupakan keadaan dan kenyataan sosial budaya maupun sosial keagamaan pada masa kelahiran Majelis Ulama Nagari Andaleh tersebut, baik yang ada dalam nagari Andaleh maupun di luar.

Faktor Obyektif Intern
Pada awal abad ke dua puluh keadaan ummat Islam di Indonesia pada umumnya sangat lemah. Kemiskinan maupun kebodohan ada pada ummat Islam. Dalam bidang keagamaan praktek-praktek bid`ah, khurafat, syiri` dan takhayul sangat merajalela. Keadaan ini memang diciptakan oleh kolonial Belanda yang berkeinginan mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia. Taktik yang digunakan adalah memperkecil kesempatan pendidikan bagi bangsa Indonesia, dan bagi yang berkesempatan mendapatkan pendidikan ala Barat telah menjauhkan mereka dari pengertian dan pemahaman ajaran Islam.

FAKTOR OBYEKTIF EKSTERN
Keadaan ummat Islam yang jatuh/runtuh sejak abad ke-15 mulai bangkit lagi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dengan munculnya pembaharu-pembaharu pemikiran Islam seperti Muhammad Bin Abdul Wahab, Jamaludin Al Afgani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridho dll. Pemikiran-pemikiran mereka menyadarkan kembali ummat Islam untuk mendalami dan memahami agama Islam dari sumbernya yang asli. Pemahaman yang demikian akhirnya menimbulkan kesadaran bahwa ummat Islam harus bangkit dan ajaran-ajaran Islam harus diperjuangkan keberadaannya. Kesadaran dari tokoh-tokoh pembaharu itulah yang mungkin meresap pada diri para pendiri Majelis Ulama Nagari Andaleh.

RUANG LINGKUP GERAK MAJELIS ULAMA NAGARI ANDALEH
Majelis Ulama Nagari Andaleh bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang :

1. AQIDAH
Majelis Ulama Nagari Andaleh bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid`ah dan khurafat tanpa mengabaikan prinsip-prinsip toleransi menurut ajaran Islam.

2. AKHLAQ
Majelis Ulama Nagari Andaleh bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur`an dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia.

3. IBADAH
Majelis Ulama Nagari Andaleh bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.

4. MU`AMALAH DUNIAWIYAH
Majelis Ulama Nagari Andaleh bekerja untuk terlaksananya mu`amalat duniawiyat (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.

5. KESEJAHTERAAN ANGGOTA
Dari 5 ruang lingkup gerakan, untuk yang terakhir ini barulah Majelis Ulama Nagari Andaleh mengarahkan pemikiran untuk memikirkan diri sendiri (anggota). Diakui bahwa, para penggerak da`wah tidak akan maksimal dalam berbuat jika tidak didukung oleh kemampuan untuk bertahan hidup “survive”. Persoalan kesejahteraan hidup para mubaligh yang sering belum memadai, menjadi salah satu faktor penghambat bagi para mubaligh itu sendiri dalam menjalankan amanat sebagai juru dakwah. Upaya untuk lebih mensejahterakan anggota mestilah menjadi perhatian penuh bagi pengurus.

PROGRAM KERJA
Untuk memuluskan tercapainya target sebagaimana tertuang pada ruang lingkup gerakan di atas maka perlu disusun sebuah rancangan kegiatan, yang diharapkan akan menjadi pedoman bagi pengurus bersama-sama dengan anggota dalam mengayuh biduk organisasi. Untuk lebih mudahnya maka kegiatan-kegiatan dikelompokkan ke dalam hal-hal sebagai berikut :

Bidang Organisasi
Konsolidasi organisasi merupakan hal yang sangat penting guna terciptanya struktur dan fungsi organisasi yang mantap menuju pencapaian tujuan Konsolidasi mesti dilakukan secara terus menerus atau berkesinambungan melalui pentahapan yang bersifat reformasi (refungsionalisasi dan pengembangan) organisasi dengan segenap unit komponennya maupun yang bersifat peningkatan serta pemantapan struktur dan fungsi sebagai alat gerak da`wah yang handal.
Pelaksanaan konsolidasi ini mesti didukung kesatuan personil (anggota maupun pengurus menyangkut wawasan, pemikiran, sikap dan tingkah laku) disamping daya dukung sarana, prasarana dan fasilitas yang dijalankan secara simultan dan tidak mengandalkan semata-mata pendekatan birokrasi-administratif belaka, tetapi juga konsolidasi yang bersifat gerak perjuangan organisasi dimana nilai-nilai dan norma-norma dasar yang menjadi misi dan landasan gerak organisasi (yaitu Islam dan cita-citanya) menjiwai serta mewarnai gerak organisasi.
Pertemuan antar pengurus minimal sekali dalam satu bulan adalah sebuah keniscayaan. Hal ini merupakan ajang evaluasi program yang sedang bergulir, sekaligus untuk mendeteksi hal-hal yang mungkin menjadi penghambat, sehingga program yang akan dijalankan dapat terlaksana menurut semestinya.

Bidang Pendidikan & Kader
Kaderisasi merupakan faktor strategis dalam gerak setiap organisasi yang menghubungkan antara gerakan dengan subyek penggerak dalam mewujudkan tujuan dan untuk menjaga kesinambungan (kontinuitas) gerak organisasi antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang dimana selalu terpeliharanya misi, nilai dan identitas organisasi.
Sasaran dan arah utama pendidikan dan kaderisasi ini adalah lahirnya para kader ulama yang memiliki kesamaan wawasan, pemikiran, semangat, sikap dan integritas dalam menggerakkan organisasi da`wah ini untuk masa depan. (penjabaran program lihat pada lembaran rancangan action plan)

Bidang Kajian dan Muzakarah
Bermunculannya berbagai problematika ke-Islaman di tengah-tengah masyarakat, baik yang bersifat ibadah maupun mu`malah duniawiyah telah banyak menimbulkan tanda tanya bagi anak nagari. Menyangkut masalah pelaksanaan ibadah yang berbeda-beda, telah menimbulkan berbagai prasangka. Menjawab tanpa dilandasi dengan ilmu dan disertai dalil-dalil yang qath`i hanya akan semakin memperkeruh suasana. Maka diperlukan suatu upaya untuk mencari kebenaran-kebenaran hakiki setiap persoalan dengan cara bermuzakarah oleh para anggota MUNA pada waktu-waktu yang ditentukan.
Persoalan-persoalan yang dibahas adalah apa yang ditetapkan oleh forum Raker ini, disamping hal-hal lain yang bersifat kondisional. Untuk kerapian administrasi, diperlukan tidak saja sebentuk silabus dari masalah-masalah yang akan dibahas, tetapi juga diperlukan adanya upaya pembukuan hasil muzakarah untuk kemudian diterbitkan secara sederhana agar segera diketahui oleh ummat, disamping penyampaian dengan cara tabligh melalui wirid-wirid dan khutbah-khutbah. (penjabaran program lihat pada lembaran rancangan action plan)

Bidang Tabligh
Wirid-wirid konvensional yang telah berlangsung sejak lama di nagari ini, memang telah memberikan dampak positif terhadap kehidupan beragama masyarakat. Namun tetap saja harus diakui bahwa hal tersebut belum lagi maksimal. Diantara penyebabnya adalah tidak terkoordinasinya dengan baik pesan-pesan da`wah (materi) yang akan disampaikan oleh para mubaligh. Sehingga kesan bahwa para mubaligh kita kekurangan materi da`wah menjadi santer di kalangan obyek da`wah itu sendiri.
Penyusunan silabus da`wah menjadi sangat penting, disamping untuk memudahkan setiap mubaligh dalam mencari materi da`wah, sekaligus untuk menciptakan wirid pengajian yang berkelanjutan, memiliki sasaran tertentu dan dapat diukur tingkat pencapaiannya. Tidak seperti apa yang kebanyakan telah berlalu. Sebagai contoh, hampir setiap malam pada bulan Ramadhan, materi da`wah tidak berangkat dari hal yang itu ke itu saja, sehingga menimbulkan kebosanan bagi objek da`wah. (penjabaran program lihat pada lembaran rancangan action plan)

Bidang Kesejahteraan Anggota
Persoalan da`wah terkendala oleh karena kesibukan para juru da`wah dalam mengatasi masalah kehidupannya merupakan hal yang cukup banyak ditemui di lapangan, untunglah hal seperti ini belum menjadi masalah besar bagi para juru da`wah di nagari kita ini. Sungguhpun demikian, tidak ada alasan bagi organisasi untuk tidak memikirkan persoalan kesejahteraan anggotanya.
Adalah “fardhu” hukumnya bagi organisasi untuk ikut bertanggung jawab memikirkan masalah kehidupan yang membelit para juru da`wah yang menjadi anggotanya. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya terobosan dalam mencari jalan keluar dari persoalan ini. (penjabaran program lihat pada lembaran rancangan action plan)

Bidang Dana
Tanpa bahan bakar maka sebuah kenderaan bermotor tidak akan dapat bergerak sebagaimana mestinya. Sekalipun bahan bakar bukan satu-satunya sarana pendukung terpenting bagi sebuah kenderaan. Onderdil lainnya juga merupakan bagian teramat sangat vital untuk mendukung lajunya kenderaan tersebut.
Masalah minusnya dana bagi organisasi da`wah sudah menjadi masalah klasik semenjak dulunya. Besarnya tanggung jawab yang diemban serta tuntutan keikut sertaan dalam pembangunan sumberdaya insani baik oleh pemerintah maupun masyarakat terhadap Majelis Ulama Nagari Andaleh selama ini, belum lagi ditunjang dengan perhatian yang memadai. Kesempatan beramal bagi masyarakat untuk MUNA barulah sebatas dua kali dalam setahun (Hari Raya), itupun kalau diingatkan, jika tidak, maka ummat (melalui tangan para pengurus jama`ah pun) sering lupa memperhatikan masalah dana bagi MUNA.
Ke depan, diharapkan kepada pengambil kebijakan (Wali Nagari dan BAMUS) untuk lebih meningkatkan pengalokasian dana untuk MUNA sesuai dengan kebutuhan organisasinya berdasar anggaran yang telah disusun. Makanya, penyusunan anggaran kebutuhan menjadi sangat vital, untuk terukur dan jelasnya berapa kebutuhan organisasi yang sesungguhnya. Sarana dan prasarana apa saja yang perlu diadakan.

PENUTUP
Demikianlah, program kerja ini ditetapkan untuk menjadi pedoman bagi pengurus dalam menjalankan roda organisasi selama periode kepengurusan yang diemban, semoga Allah SWT menjadikan setiap upaya kita ini sebagai amal shaleh yang di redhoi-Nya.

Majelis Ulama Nagari Andaleh
Ketua --------------- Sekretaris


DESEMBRI H ------------- Zadri Djufri
Sumber : Bahan Rapat Kerja Majelis Ulama Nagari Andaleh 2007 - 2010

Label:


 

Nama-Nama Jorong & Kepala Jorong

Nama-Nama Jorong dan Kepala Jorong


dalam Wilayah Nagari Andaleh





Sumber : Arsip Nagari Andaleh

Label: ,


 

Daftar Nama Anggota MUNA



Struktur Kepengurusan Majelis Ulama Nagari Andaleh


Periode 2007 - 2010



  1. Desembri (Ketua)

  2. Hardinata Syam (Wakil Ketua)

  3. H Zadri Djufri (Sekretaris)

  4. Zulhatril, S.PdI (Wakil Sekretaris)

  5. Dra Susniwati (Bendahara)

Anggota :



  1. H Abdul Malik Ismail

  2. Agusti Ramli

  3. Drs Faisal Nurdin

  4. Saharni, BA

  5. Erasmus

  6. N Dt Bagindo Nan Kuniang

  7. N Dt Bagindo Said

  8. Riswandi BA

  9. Tamrin

  10. Anwar Tita

  11. Drs Muh Nursyah

  12. A Dt Sembai Nan Putiah

  13. Sepriyanto

  14. Drs Syafri Darmon

  15. Drs M Dt Bijo Nan Putieh

  16. Nahar

Label: ,


This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Berlangganan Postingan [Atom]