Selasa, 21 April 2009

 

Hukum Jual Beli


HUKUM JUAL BELI
YANG BOLEH DAN YANG TERLARANG


Al-Bay’[u] (jual) secara bahasa berarti pertukaran (mubâdalah); lawan katanya adalah asy-syarâ’ (beli). Al-Bay’[u] adalah kata jadian (mashdar) dari kata kerja bâ’a, yaitu menukar barang dengan barang (mubâdalah mâl bi mâl). Dengan ungkapan lain, dalam sebagian literatur, ia berarti mempertemukan atau menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain (muqâbalah syay’[in] bi syay[in]) atau memberi ganti dan mengambil barang yang telah diberi ganti (daf’u iwadh wa akhdu ma ‘uwwidha ‘anhu).
Salah satu dari kata ini dapat digunakan untuk menyebut lainnya. Akan tetapi, jika disebut al-bay’[u ] maka segera terlintas dalam benak menurut kebiasaan (‘urf) bahwa yang dimaksud adalah menawarkan barang dagangan (bâdzil as-sil’ah).*

Hukum Jual-Beli
Adapun secara terminologi (istilah), jual-beli (al-bay’[u ]) berarti menukar barang dengan barang lain untuk saling memiliki dengan adanya kerelaan.* Status hukum jual-beli adalah mubah menurut al-Qur’an Al-Baqarah [2]: 275;
”Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” Qs. an-Nisâ’ [4]: 29)

dan sabda Rasul Saw berikut yang di riwayatkan dari Ibnu Umar ra, ”Dua orang yang berjual-beli boleh memilih (untuk meneruskan jual-beli atau tidak) selama mereka belum berpisah. [HR. al-Bukhari dan Muslim].*

Rukun Jual-Beli
Para fuqaha berbeda pendapat tentang batasan rukun dan hal lain pada akad; apakah ia terbatas pada sighat (kalimat transaksi, ijab dan qabul) atau kumpulan dari sighat dan ‘âqidayn (pembeli dan penjual) serta ma’qûd alayh atau mahal al-‘aqd (barang yang dijual dan harganya).
Para ulama (yakni para ulama Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah) sepakat bahwa ini semua adalah rukun dari jual-beli*. Walhasil, rukun jual-beli yang disepakati oleh para ulama ada 5 perkara, yaitu:
1. Penjual. Hendaknya ia pemilik sah dari barang yang dijualnya atau orang yang mendapat izin menjual dan berakal sehat, bukan orang yang terkena larangan mengelola harta.

2. Pembeli. Hendaknya ia termasuk orang yang diperbolehkan menggunakan hartanya, bukan orang boros, dan bukan pula anak kecil yang tidak mendapat izin mengelola harta. An-Nisâ’ [4]: 5)


”Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”

3. Barang yang dijual dan harganya. Hendaknya barang yang dijualbelikan termasuk barang yang diperbolehkan, suci, dapat diserahterimakan kepada pembelinya dan kondisinya diberitahukan kepada pembelinya, meski hanya gambarannya saja. Sebagian ulama menambahkan, barang yang dijual harus ada ketika terjadi transaksi (akad).*

4. Kalimat yang menunjukkan transaksi jual-beli, yakni kalimat ijab dan qabul. Contoh: pembeli berkata, “Juallah barang itu kepadaku”. Penjualnya berkata, “Aku menjual barang ini kepadamu”.* Bisa juga dengan sikap mengisyaratkan kalimat transaksi. Misalnya, pembeli berkata, “Juallah pakaian ini kepadaku”. Kemudian penjual memberikan pakaian tersebut kepadanya. Termasuk dalam bentuk ungkapan ijab/qabul adalah dengan menggunakan tulisan. Adapun jual-beli dengan tindakan tanpa ada ungkapan-seperti seseorang membeli barang kemudian menyerahkan harganya; seperti jual-beli roti, koran, perangko, dan sebagainya-maka faktanya ada dua: (a) Jika harga barang tersebut di pasaran telah diketahui tidak ada tawar-menawar maka tindakan tersebut menunjukkan ijab-qabul dan masuk dalam kategori jual-beli yang oleh fuqaha dinamakan bay’ al- mu’âthah;* (b) Jika harga barang tersebut memerlukan tawar-menawar kedua belah pihak maka bentuk jual-beli di atas tidak sah. Dengan demikian, setiap ijab-qabul adalah setiap ungkapan, isyarat, ataupun tindakan yang menunjukkan secara qath’i (tegas) adanya ijab-qabul tanpa mengandung unsur perselisihan.*

5. Ada keridhaan di antara kedua belah pihak. Ini berdasarkan sabda Rasul Saw:
Jual-beli itu dianggap sah karena adanya keridhaan. [HR. Ibn Hibban dan Ibn Majah].

Persyaratan Jual-Beli
a. Persyaratan jual-beli yang dianggap sah.
Jika persyaratan yang ditentukan dalam rukun jual-beli telah terpenuhi maka jual beli tersebut dianggap sah. Sah pula hukumnya mensyaratkan adanya manfaat tertentu dalam jual-beli. Contoh: penjual binatang ternak disyaratkan untuk mengantarkan binatang ternaknya ke tempat tertentu, atau tinggal di rumah yang dibeli selama beberapa waktu; pembeli mensyaratkan bahwa kain yang akan dibelinya telah dijahit; atau pembeli kayu bakar menyaratkan bahwa kayu yang dia beli sudah dibelah.* Sebab, terdapat riwayat bahwa Jabir ra. pernah menjual seekor unta kepada Rasul Saw, lalu ia mensyaratkan agar ia boleh menaiki unta yang telah dijualnya tersebut hingga di tempat tujuan.*

b. Persyaratan jual-beli yang dianggap tidak sah.
1. Mengumpulkan 2 akad dalam satu transaksi jual-beli. Contoh: pembeli mengatakan, “Saya jual budak ini kepada Anda seharga 1000 dinar, dengan syarat, Anda harus menjual rumah Anda kepada saya seharga sekian.” Artinya, “Jika Anda menetapkan milik Anda menjadi milik saya, saya pun akan menetapkan milik saya menjadi milik Anda.”* Ini berdasarkan riwayat Ibn Abbas ra. yang menyatakan:
Nabi saw. telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian. [HR. Ibn Hibban, at-Tirmidzi, al-Baihaqi, dan Malik].
Dalam riwayat lain Ibn Mas’ud ra. menuturkan:
Rasul Saw telah melarang dua akad dalam satu akad. [HR. ath- Thabrani].*

2. Mensyaratkan sesuatu yang merusak asal hukum jual-beli. Contoh: seorang penjual binatang ternak mensyaratkan kepada pembelinya untuk tidak menjual kembali ternaknya atau tidak menjualnya kepada si fulan A, atau tidak menghadiahkan kepada si fulan B; atau penjualnya mensyaratkan kepada pembeli supaya dipinjami atau dijual kepadanya suatu barang. Ini berdasarkan sabda Nabi Saw:
Tidak halal menyatukan pinjaman dengan penjualan, menyatukan dua syarat dalam satu akad jual-beli, dan menjual barang yang bukan milikmu. [HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, ad-Daruqutni, dan al-Hakim].

3. Persyaratan batil yang akadnya dianggap sah, namun syarat tersebut dianggap batal. Contoh: penjual mensyaratkan agar tidak dirugikan saat menjual kepada pembeli atau penjual mensyaratkan kepemilikan budak yang dijualnya kepadanya. Persyaratan dalam kedua contoh di atas dikategorikan batal, sedangkan jual-belinya dianggap sah. Ini berdasarkan sabda Rasul Saw:

Siapa saja yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah (al-Qur’an) maka persyaratannya batil, meskipun seratus syarat. [HR. al-Bukhari, Ibn Hibban, Ibn Majah, ad-Daruqutni, dan an-Nasa’i].*

Jual-Beli yang Dilarang
Rasul Saw telah melarang beberapa macam jual-beli, yakni yang di dalamnya terdapat unsur penipuan, yang menjadikan pelakunya memakan harta orang lain dengan cara yang batil; juga yang melahirkan kedengkian, perselisihan, dan permusuhan di antara umat Islam secara khusus dan umat manusia secara umum. Di antaranya adalah:

1. Jual-beli barang yang belum diterima. Tidak boleh seorang Muslim membeli barang, kemudian menjualnya, sebelum ia menerimanya dari penjual.* Ini berdasarkan Hadis Rasul Saw:
Jika kamu membeli sesuatu, janganlah kamu menjualnya sebelum kamu menerimanya terlebih dulu. [HR. Ibn Hibban].

2. Jual-beli barang yang sudah dibeli oleh seorang Muslim. Tidak boleh seorang Muslim membeli suatu barang yang telah dibeli oleh saudaranya sesama Muslim. Contoh: seseorang membeli suatu barang dengan harga 5 ribu rupiah, lalu seorang Muslim berkata kepada penjualnya, “Kembalikan uang itu kepada pemiliknya, pasti akan saya beli barang itu dari Anda seharga 6 ribu rupiah.” Ini berdasarkan Hadis Rasul Saw:
Janganlah sebagian di antara kalian membeli barang yang telah dibeli oleh sebagian orang Islam lainnya. [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Hadis ini berisi larangan yang tegas bahwa seseorang tidak boleh membeli barang yang sudah dibeli saudaranya.*

3. Jual beli dengan sistem najasy.* Tidak boleh seorang Muslim menawar suatu barang tanpa bermaksud untuk membelinya, tetapi dimaksudkan supaya para pembeli tertarik untuk ikut membeli dan menawar dengan harga yang lebih tinggi; baik itu merupakan hasil persengkongkolan dengan sahabatnya atau tidak. Ini berdasarkan riwayat dari Ibn Umar ra:
Rasul Saw telah melarang jual-beli dengan sistem najasy. [HR. al-Bukhari].

4. Jual-beli barang haram dan barang najis. Tidak boleh seorang Muslim menjual barang haram dan barang najis serta barang yang membawa pada sesuatu yang diharamkan. Contoh: tidak boleh memperjualbelikan minuman keras, daging babi, bangkai, narkoba, atau anggur kepada seseorang untuk dijadikan minuman keras; atau memperjualbelikan patung dan barang yang haram dibuat. Ini berdasarkan Hadis Rasul Saw:
Sesungguhnya Allah Swt. dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual minuman keras, bangkai, daging babi, dan patung berhala. [HR. al-Bukhari dan Muslim].

5. Jual-beli yang di dalamnya terdapat unsur penipuan. Contoh: menjual ikan yang masih berada di kolam, bulu domba yang masih melekat di punggung domba, menjual janin binatang yang masih ada dalam perut induknya, menjual air susu yang masih berada dalam ambingnya; menjual buah-buahan yang belum matang; menjual barang yang tidak boleh dilihat atau diperiksa; menjual barang tanpa menjelaskan sifat, jenis, dan beratnya jika barangnya tidak ada pada si penjual.* Ini berdasarkan sabda Rasul Saw:
Janganlah kalian membeli ikan yang masih ada dalam air karena hal itu mengandung unsur penipuan. [HR. Ahmad dan ath-Thabrani].
Dalam riwayat lain Ibn Umar ra. menuturkan:
Rasul Saw telah melarang untuk menjual kurma kecuali ia dapat dimakan, atau bulu domba yang masih melekat di punggung domba, atau air susu yang masih berada dalam ambingnya, atau samin (mentega) yang masih berupa air susu. [HR. al-Baihaqi dan ad-Daruqutni].

Dalam riwayat yang lain lagi juga disebutkan:
Rasul saw. telah melarang menjual buah-buahan sehingga matang. [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Para ulama sepakat untuk melarang jual-beli barang yang tidak ada. Ini adalah syarat in’iqâd menurut para ulama Hanafiyah. Termasuk jual-beli barang yang tidak ada adalah menjual buah yang belum matang seperti di singgung dalam hadis di atas.*


6. Jual-beli dua barang dalam satu transaksi. Tidak boleh seorang Muslim melakukan jual-beli dua barang dalam satu transaksi. Sebab, di dalamnya mengandung unsur kesamaran yang dapat menyakiti atau merugikan orang lain dan memakan hartanya dengan cara yang tidak benar. Contoh: seseorang berkata, “Aku menjual rumah ini kepada Anda dengan harga sekian, dengan syarat, Anda harus menjualnya kembali kepada saya dengan harga sekian.” Ini berdasarkan riwayat bahwa:
Rasul saw. telah melarang menjual dua barang dalam satu akad. [HR. Ahmad dan at-Tirmidzi].7. Jual-beli barang yang tidak dimiliki atau belum sempurna kepemilikannya; termasuk dalam hal ini adalah barang yang tidak bisa diserahkan. Adapun barang yang tidak disyaratkan sempurna kepemilikannya adalah barang yang tidak ditimbang, ditakar, dan dihitung seperti rumah, dan lain-lain. Contoh: seorang pedagang kecil menawarkan barang yang tidak dia miliki kepada pembeli. Ketika pembeli tersebut menyepakati harganya, lalu penjual tersebut pergi ke pembeli lain untuk membeli barang yang dibeli tersebut, maka hukumnya haram; demikian pula orang yang mengimpor barang dari negara lain dan melakukan penjualan barang tersebut sebelum tiba di negerinya.* Walhasil, tidak boleh seorang Muslim menjual barang yang tidak ada padanya atau yang belum dimilikinya,* karena hal itu dapat menyakitkan pembeli ketika barang yang dibelinya ternyata tidak ada. Ini berdasarkan riwayat dari Rasul Saw:
Janganlah kamu menjual suatu barang yang tidak ada padamu. [HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibn Majah, dan at-Tirmidzi].
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa:
Rasul Saw telah melarang menjual suatu barang sebelum ia menerimanya. [HR. al-Bukhari].8. Jual-beli dengan sistem ‘Aynah. Tidak boleh seorang Muslim menjual suatu barang hingga batas waktu tertentu, kemudian ia membeli lagi barang tersebut dari sang pembeli dengan harga yang lebih murah ketika dibeli secara kredit.*

HUKUM JUAL-BELI KREDIT
Jual beli dengan sistem kredit (cicilan), yang ada di masyarakat digolongkan menjadi dua jenis: Jenis pertama, kredit dengan bunga. Ini hukumnya haram dan tidak ada keraguan dalam hal keharamannya, karena jelas-jelas mengandung riba. Jenis kedua, kredit tanpa bunga. Para fuqaha mengistilahkan kredit jenis ini dengan Bai’ At Taqsiith. Sistem jual beli dengan Bai’ At Taqsiith ini telah dikaji sejumlah ulama, di antaranya :

SYAIKH AN-NABHANI*
Menyatakan bahwa pemilik barang berhak menjual barang yang dimilikinya sesuai dengan harga yang diinginkannya atau tidak menjual barangnya pada harga yang tidak ia inginkan. Oleh karena itu, ia berhak menjual barangnya dengan dua harga : apakah dengan harga tunai atau dengan harga kredit yang dibayar sekaligus pada waktu yang disepakati ataupun dengan cara diangsur. Demikian pula pembeli, ia berhak menawar harga di antara kedua bentuk tersebut, apakah secara tunai atau secara kredit. Pendapat ini didasarkan pada hadis Rasulullah Saw:
Sesungguhnya jual beli itu berdasarkan kerelaan. [HR. Ahmad dan Ibnu Majah].
Namun, setelah salah satu harga disepakati, maka harga yang berlaku hanya satu. Sebagai contoh, jika seorang pembeli mengatakan, “Saya menjual barang ini dengan harga Rp 50.000 secara tunai dan Rp. 60.000 secara kredit.” Lalu pembeli mengatakan, “Saya memilih harga tunai”, atau, “Saya menerima harga kredit.” Jual-beli semacam ini sah.
Menurut Syaikh an-Nabhani, tidak ada larangan menjual dengan dua harga terhadap satu barang. Sebab, kebolehan jual-beli sebagaimana yang ditunjukkan al-Qur’an (Qs. al-Baqarah [2]: 257) datang dalam bentuk yang umum. Artinya, seluruh bentuk jual-beli halal kecuali jika terdapat pengecualian, seperti larangan jual-beli gharar (penipuan). Beliau juga mengutip perkataan sejumlah fuqaha seperti Thawus, al-Hakam, dan Hammad yang berkata, “Tidak mengapa seseorang berkata, ‘Saya menjual kepadamu dengan tunai sekian dan dengan kredit (nasi’ah) sekian’.”*

Menurutnya (Syeikh An Nabhani) jual-beli seperti ini tidak termasuk ke dalam larangan jual-beli dua akad dalam satu akad. Sebab, akadnya tetap satu, hanya penawaran harganya yang berbeda, antara tunai dan kredit, dan pembeli juga hanya diberikan pilihan satu, apakah membayar secara tunai atau secara kredit.
Yang terlarang dalam jual-beli kredit adalah ketika pembeli diharuskan menambah harga pada saat ada keterlambatan pembayaran dari waktu yang telah ditentukan (yang dalam masyarakat kita sering disebut dengan 'denda keterlambatan'). Demikian juga jika si pembeli meminta penundaan pembayaran dan penjual merestuinya, dengan catatan, ia harus menambah harganya. Bentuk inilah yang dilarang dalam Islam karena dapat terkategori ke dalam riba nâsi’ah yang secara tegas telah diharamkan dalam Islam.
Hakikat riba nâsi’ah adalah ketika seseorang memiliki utang kepada orang lain hingga batas waktu tertentu lalu ketika jatuh tempo, orang itu berkata, “Apakah kamu akan membayarnya atau akan menambahi utangmu.” Jika ia tidak mampu membayarnya, niscaya utangnya akan ditambah dan ditangguhkan hingga batas waktu yang telah ditentukan. Dengan begitu, jumlah utangnya akan terus bertambah seiring dengan penambahan batas waktu pembayarannya. Jika hal ini terjadi maka harga yang berlaku adalah harga yang pertama karena selebihnya adalah riba.*

AS-SYAIKH NASHIRUDIN AL ALBANI
Dalam kitab As-Shahihah jilid 5, terbitan Maktabah Al Ma’arif Riyadh, hadits no. 2326 tentang “Jual Beli dengan Kredit”, beliau menyebutkan adanya tiga pendapat di kalangan para ulama. Yang rajih (kuat) adalah pendapat yang tidak memperbolehkan menjual dengan kredit apabila harganya berbeda dengan harga kontan (yaitu lebih mahal, red). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At Tirmidzi, bahwa Rasulullah melarang transaksi jual beli (2 harga) dalam satu transaksi jual beli.
As Syaikh Al Albani menjelaskan, maksud larangan dalam hadits tersebut adalah larangan adanya dua harga dalam satu transaksi jual beli, seperti perkataan seorang penjual kepada pembeli: Jika kamu membeli dengan kontan maka harganya sekian, dan apabila kredit maka harganya sekian (yakni lebih tinggi).
Hal ini sebagaimana ditafsirkan oleh Simaak bin Harb dalam As Sunnah (karya Muhammad bin Nashr Al Marwazi), Ibnu Sirin dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 hal. 137 no. 14630, Thoowush dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14631, Ats Tsauri dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14632, Al Auza’i sebagaimana disebutkan oleh Al Khaththaabi dalam Ma’alim As Sunan jilid 5 hal. 99, An Nasa’i, Ibnu Hibban dalam Shahih Ibni Hibban jilid 7 hal. 225, dan Ibnul Atsir dalam Ghariibul Hadits.
Demikian pula dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.”
Misalnya seseorang menjual dengan harga kontan Rp 100.000,00, dan kredit dengan harga Rp 120.000,00. Maka ia harus menjual dengan harga Rp 100.000,00. Jika tidak, maka ia telah melakukan riba. Atas dasar inilah, jual beli dengan sistem kredit (yakni ada perbedaan harga kontan dengan cicilan) dilarang, dikarenakan jenis ini adalah jenis jual beli dengan riba.

AS-SYAIKH MUQBIL BIN HADI AL WAADI’I
Dalam kitabnya Ijaabatus Saailin hal. 632 pertanyaan no. 376, beliau menjelaskan bahwa hukum jual beli seperti tersebut di atas adalah dilarang, karena mengandung unsur riba. Dan beliau menasehatkan kepada setiap muslim untuk menghindari cara jual beli seperti ini.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At Tirmidzi, bahwa Rasulullah melarang transaksi jual beli (2 harga) dalam satu transaksi jual beli.
Namun beliau menganggap lemahnya hadits Abu Hurairah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.”
Hal ini sebagaimana disebutkan beliau dalam kitabnya Ahaadiitsu Mu’allah Dzoohiruha As Shahihah, hadits no.369.
Dalam perkara jual beli kredit ini, kami nukilkan nasehat As-Syaikh Al Albani: “Ketahuilah wahai saudaraku muslimin, bahwa cara jual beli yang seperti ini yang telah banyak tersebar di kalangan pedagang di masa kita ini, yaitu jual beli At Taqsiith (kredit), dengan mengambil tambahan harga dibandingkan dengan harga kontan, adalah cara jual beli yang tidak disyari’atkan. Di samping mengandung unsur riba, cara seperti ini juga bertentangan dengan ruh Islam, di mana Islam didirikan atas pemberian kemudahan atas umat manusia, dan kasih sayang terhadap mereka serta meringankan beban mereka, sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan Al Imam Al Bukhari : “Allah merahmati seorang hamba yang suka memberi kemudahan ketika menjual dan ketika membeli…”
Dan kalau seandainya salah satu dari mereka mau bertakwa kepada Allah, menjual dengan cara kredit dengan harga yang sama sebagaimana harga kontan, maka hal itu lebih menguntungkan baginya, juga dari sisi keuntungan materi. Karena dengan itu menyebabkan sukanya orang membeli darinya, dan diberkahinya oleh Allah pada rejekinya, sebagaimana firman Allah:

… Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki-Nya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Ath Thalaq: 2-3)
Demikian nasehat dari As-Syaikh Al Albani. Sebagai kesimpulan, kami dari Majelis Ulama Nagari Andaleh menyatakan dan menasehatkan kepada seluruh kaum Muslimin, agar :

1. Jika saudara adalah seorang pedagang, maka hindarilah cara menjual dengan sistim kredit yang memakai dua harga dan harga kredit lebih mahal dibanding harga kontan

2. Jika saudara adalah seorang konsumen, membutuhkan sesuatu barang, dan menemukan penjual yang mematok dua harga untuk barangnya (harga tunai lebih murah dibanding harga kredit) maka hindarilah untuk membelinya dengan sistim kredit
Akhirul kalam, wallahu a`lam.

Catatan :
Untuk pengayaan materi dalam makalah ini, Majelis Ulama Nagari Andaleh disamping melakukan kajian secara bersama, juga mengambil literatur dari
Makalah Muhammad Lazuardi al-Jawi tentang Jual Beli Dalam Islam,
Makalah Ustaz Ahmad Sarwat, Lc. tentang Jual Beli Dua Harga Haram, Bagaimana dengan Kredit?,
Muhammad Ishaq, Makalah “Hukum Jual-Beli Secara Kredit Menurut Islam”.

Para pemakalah tersebut dalam makalahnya antara lain mengutip dari :
1. Lihat; Mawsû’ah al-Fiqhiyah, disusun oleh Ulama Kuwait, Bab, “Ta’rîf al-Bay”
2. Ibn Qudamah, Al-Mughni, IV/3. Beirut: Darul Fikr, 1405 H. Cetakan ke-1.
3. Taqqiyudin an-Nabhani, Asy-Syakhisyah al-Islâmiyyah, II/295-298. Penerbit Darul Ummah.
4. Mawsû’ah al-Fiqhiyah, Bab ‘Arkân al-Bay’ wa Syurûtuh”.
5. Mawsû’ah al-Fiqhiyah, Bab, “Syurûth al-Bay’”.
6. Ibn Dhawiyan, Manâr as-Sabîl, I/287. Riyadh: al-Maarif, 1405 H. Cetakan ke-2.
7. Ibnu Qudamah IV/5. Darul Ihya at-Turats al-‘Arabi.
8. Ibn Yusuf al-Hanbali, Dalîl ath-Thâlib, 1/108. Beirut: Maktab al-Islami, 1389 H. Cetakan ke-2.
9. Asy-Syaukani, Nayl al-Awthâr, IV/249.
10. HR ath-Thabrani, IV/84, dalam Majma’ az-Zawâ’id wa Manba’ al-Fawâ’id. Beirut:Dar al-Kitab al-‘Arabi,1407 H.
11. Ibn Abdil Bar, Tamhîd, XIII/332. Maroko: Wazarah al-Awqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyah, 1387 H.
12. Syarh az-Zarqani, III/426. Beirut: Darul Kutub al-'Ilmiyah, 1411 H. Cetakan ke-1.
13. Ibn Abdil Bar, Al-Kafî, 1/325. Beirut: Darul Kutub al-‘llmiyah, 1407 H. Cetakan ke-1; Al-Kasani, Badai’ ash-Shana’i, V/147. Beirut: Darul Kutub al-‘Arabi, 1982. Cetakan ke-2.
14. Ibn Qudamah, Al-Kafî fî Fiqh Ibn Hanbal, II/25. Beirut: Maktab al-Islami, 1408 H/1988 M. Cetakan ke-5.

Sumber : Arsip MUNA

Label:


Komentar:
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]





<< Beranda

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Berlangganan Postingan [Atom]